Penulis: Abuya Ahmad Yani Illiyin
Pengasuh Pondok Pesantren Al Illiyin Gresik sekaligus Ketua Tanfidziyah PW JATMA ASWAJA Jawa Timur.
GRESIK | JATIMTRENDING.ID — Abuya Ahmad Yani Iliyin Gresik, pengasuh Pondok Pesantren Internasional Al-Illiyin sekaligus Ketua Tanfidziyah PW JATMA ASWAJA Jawa Timur, menyampaikan pandangan spiritual mendalam mengenai hakikat mengenal para wali Allah dalam kerangka ajaran tasawuf.
Beliau menekankan bahwa pengenalan wali bukan sekadar fenomena sosial-religius, melainkan pengalaman batiniah. Hal ini selaras dengan pandangan Imam al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah yang menyebut wali tersembunyi di balik hijab ketakwaan.
Abuya menegaskan, pintu utama untuk mengenal wali adalah doa tulus kepada Allah. Tanpa anugerah ilahiah, mata hati manusia sulit menyingkap realitas spiritual. Pandangan ini sejalan dengan Ibn ‘Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah.
Menurut beliau, tanda seorang wali dapat dikenali melalui kalimat-kalimat yang lahir dari lisannya. Jika ucapan tersebut penuh hikmah ilahiah dan asing dari kebiasaan manusia, maka ucapan itu adalah suara kebenaran sejati.
Ucapan seorang wali, jelas Abuya, bukan berasal dari nafsu melainkan dari sambung rasa dengan Allah. Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub juga menegaskan bahwa perkataan wali adalah cahaya yang lahir dari tajalli ilahiah.
Lebih lanjut, beliau menyebutkan bahwa wali mengetahui wali lain. Akan tetapi, keberadaan wali sering tersembunyi. Hal ini senada dengan pandangan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din bahwa wali kerap dirahasiakan Allah dari khalayak.
Pengungkapan wali hanya terjadi bagi mereka yang telah dibukakan kasyaf. Dalam literatur tasawuf, kasyaf adalah penyingkapan tabir spiritual. Al-Sarraj al-Tusi dalam al-Luma’ menjelaskan kasyaf sebagai mata hati yang terbebas dari kegelapan.
Namun, Abuya menegaskan tidak semua murid memperoleh kasyaf. Banyak orang hanya dapat mengambil manfaat dari nasihat wali tanpa mengetahui bahwa sosok tersebut memiliki kedudukan spiritual tinggi. Inilah rahasia kerendahan hati para wali.
Beliau menekankan bahwa keberkahan bersama wali tidak menuntut seseorang menjadi wali terlebih dahulu. Mencintai wali dengan hati yang tulus sudah cukup mengantarkan pada kebersamaan duniawi dan ukhrawi.
Konsep ini memiliki dasar kuat dalam hadis Nabi Muhammad SAW: “Seseorang akan dikumpulkan bersama siapa yang dicintainya” (HR. Bukhari-Muslim). Hadis ini menjadi fondasi doktrinal mahabbah kepada wali.
Dalam kerangka mahabbah, Ibn ‘Arabi menekankan bahwa cinta adalah jalan terdekat menuju Allah. Mencintai wali berarti mengarahkan cinta kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya, sehingga menjadi wasilah mendekat kepada-Nya.
Abuya menegaskan bahwa cinta tulus harus bebas dari pamrih. Cinta seperti itu menghadirkan ikatan rohani yang melampaui ruang dan waktu, sehingga menghadirkan kebersamaan dengan wali di dunia dan kelak di akhirat.
Ajaran ini sejalan dengan pandangan sufi besar Jalaluddin Rumi yang mengatakan, “Cinta adalah jembatan antara engkau dan segala sesuatu.” Cinta kepada wali menjadi jembatan menuju cinta dan ridha Allah.
Dalam konteks masyarakat Nusantara, pandangan Abuya relevan dengan tradisi penghormatan terhadap kiai dan ulama. Para kiai dipandang sebagai pewaris spiritualitas wali yang menjaga kesinambungan ajaran Islam berbasis cinta dan keteladanan.
Pandangan ini juga menegaskan bahwa spiritualitas Islam tidak hanya ritual lahiriah, tetapi juga pengalaman batin. Wali hadir sebagai manifestasi nilai kasih sayang Allah yang menuntun umat dalam perjalanan ruhaniah mereka.
Lebih jauh, keberadaan wali memberi keseimbangan antara dimensi syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Seperti dijelaskan al-Qusyairi, wali bukanlah pengganti syariat, melainkan penghayat syariat yang paripurna dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, ajaran Abuya Ahmad Yani Iliyin meneguhkan kesadaran umat Islam tentang pentingnya mengenal wali melalui doa, mendengarkan kalimat penuh hikmah, serta menumbuhkan cinta tulus kepada mereka sebagai jembatan menuju Allah.
Kesimpulannya, mengenal wali adalah anugerah, mencintai wali adalah ibadah, dan bersama wali adalah karunia agung. Inilah hakikat tasawuf yang diwariskan dari ulama klasik hingga diteruskan oleh Abuya dalam konteks kekinian.