Penulis: Yanto Suhaini
Dosen STIDKIS Al-Mardliyyah Pamekasan
PAMEKASAN | JATIM TRENDING.ID — Dunia pesantren kembali menjadi sorotan publik setelah munculnya tuduhan tentang praktik “feodalisme” di lingkungan pesantren. Tuduhan ini mencuat melalui tayangan Expose Uncensored di Trans7 yang menimbulkan kontroversi.
Tayangan tersebut dinilai memberi narasi kontradiktif terhadap dunia pesantren. Ia bahkan dianggap lebih berpotensi menyudutkan tradisi keilmuan dan spiritualitas yang telah lama dijaga pesantren di Indonesia.
Sebagian pihak menuduh bahwa pesantren adalah ruang yang melanggengkan feodalisme, tempat di mana kiai terlalu diagungkan dan santri ditundukkan dalam relasi hierarkis yang kaku dan tidak rasional.
Tuduhan semacam ini tampak modern dan akademis di permukaan. Namun sesungguhnya, ia lahir dari cara pandang parsial terhadap pesantren yang tidak memahami dimensi batin dan spiritualitas di dalamnya.
Pesantren sebagai ruang pendidikan dan spiritual kini diuji keteguhan batinnya. Penafsiran atas “feodalisme pesantren” perlu dilihat dari sisi nilai, bukan sekadar bentuk relasi sosial yang dangkal.
Hal mendasar yang sering dilupakan adalah bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan formal, tetapi ruang spiritual yang menumbuhkan nilai ta’dim, adab, keikhlasan, serta keyakinan terhadap keberkahan ilmu.
Mereka yang menilai pesantren dengan logika rasional semata sering gagal memahami bahwa relasi kiai dan santri tidak dibangun atas kekuasaan, melainkan atas spiritualitas, keikhlasan, dan sanad keilmuan yang suci.
Santri menghormati kiai bukan karena tunduk secara buta, tetapi karena kesadaran bahwa ilmu memiliki jalur keberkahan. Ketundukan itu adalah penghormatan terhadap ilmu, bukan pemujaan personal.
Imam al-Zarnuji dalam Ta‘lim al-Muta‘allim menjelaskan bahwa adab kepada guru merupakan pintu utama keberhasilan dalam menuntut ilmu. Tanpa adab, ilmu kehilangan ruh dan maknanya yang sejati.
Ungkapan al-Zarnuji sangat jelas: seseorang hanya akan mulia karena menjaga kehormatan, dan akan jatuh hina ketika meninggalkan adab serta pengagungan terhadap guru dan ilmunya.
Tradisi sowan, mencium tangan, duduk sopan, atau meminta doa bukanlah bentuk feodalisme, melainkan ekspresi cinta dan penghormatan terhadap ilmu, serta keyakinan akan keberkahan spiritual seorang guru.
Pesantren selalu menempatkan adab sebelum ilmu. Sebab ilmu tanpa adab akan melahirkan kesombongan, sementara adab yang tinggi melahirkan kebijaksanaan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan.
Dalam logika pesantren, kiai ibarat wadah yang menampung air ilmu. Air tidak mungkin diminum tanpa wadahnya. Begitulah ilmu takkan sampai tanpa perantara guru yang tulus dan beradab.
Sayangnya, sebagian pihak menilai pesantren dengan kacamata sosial modern yang menolak hierarki dan tradisi. Padahal, dalam Islam, hierarki justru menjaga sanad keilmuan dan kesinambungan barokah.
Kiai bukan penguasa yang haus penghormatan, melainkan penjaga moral, pewaris para nabi, serta penghubung mata rantai keilmuan Islam yang berakar pada keikhlasan dan kebeningan spiritual.
Pesantren tidak anti terhadap kritik. Namun kritik harus lahir dari pemahaman yang utuh tentang tradisi dan nilai-nilai pesantren, bukan dari prasangka yang menilai simbol tanpa memahami makna batinnya.
Menyebut pesantren feodal tanpa memahami konsep barokah sama saja menilai samudera hanya dari riak ombak di tepinya. Pandangan semacam itu mengabaikan kedalaman spiritual yang dimiliki pesantren.
Pesantren justru terbuka terhadap pembaruan, namun tetap menjaga akar tradisinya. Sebab ketika adab dan spiritualitas dipisahkan dari ilmu, yang hilang bukan hanya budaya pesantren, tapi ruh Islam itu sendiri.
Pesantren adalah ruang di mana ilmu, iman, dan akhlak bersatu. Dari sinilah lahir ulama, pemimpin bangsa, dan pejuang kemanusiaan yang membumikan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Karena itu, menuduh pesantren feodal adalah kekeliruan besar. Barokah lebih tinggi dari gelar, adab lebih mulia dari kecerdasan. Itulah yang membuat pesantren bertahan ketika dunia kehilangan arah spiritual.