Penulis: Lora Jamaluddin Syam
Ketua Komunitas Lora Madura (KOLOM).
PAMEKASAN | JATIMTRENDING.ID — Gerhana bulan merupakan salah satu fenomena astronomi yang sejak dahulu menarik perhatian umat manusia, tidak hanya sebagai gejala alam, tetapi juga memiliki makna simbolik mendalam dalam kebudayaan dan keagamaan.
Dalam literatur klasik, gerhana bulan sering dikaitkan dengan peristiwa penting yang mengguncang kehidupan manusia. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa gerhana bulan terjadi bertepatan dengan wafatnya putra Nabi Musa.
Kisah tersebut menegaskan adanya keterkaitan simbolis antara peristiwa duka mendalam seorang nabi besar dengan gejala kosmik, seolah-olah bulan pun ikut merasakan kesedihan manusia.
Meskipun ilmu pengetahuan modern menjelaskan gerhana bulan sebagai akibat posisi relatif bumi, bulan, dan matahari, pandangan tradisional memberikan makna spiritual yang memperkaya penafsiran masyarakat.
Gerhana bulan terjadi ketika bumi berada di antara matahari dan bulan, sehingga cahaya matahari terhalang. Namun, dalam perspektif historis, fenomena ini sering disertai takwil keagamaan.
Keyakinan mengenai keterkaitan wafatnya putra Nabi Musa dengan gerhana bulan menjadi salah satu contoh bagaimana manusia berusaha memahami alam melalui pengalaman emosional dan spiritualnya.
Dalam konteks kebudayaan Semitik, simbol-simbol kosmik seperti matahari dan bulan sering dipandang bukan hanya benda langit, melainkan entitas yang turut berinteraksi dengan kehidupan manusia.
Oleh karena itu, peristiwa wafatnya putra seorang nabi tidak hanya dipandang sebagai tragedi keluarga, melainkan juga sebagai peristiwa universal yang mengguncang keteraturan kosmik.
Jika dianalisis secara hermeneutik, kisah gerhana bulan pada masa Nabi Musa dapat dipahami sebagai bentuk narasi religius yang menekankan keterhubungan manusia dengan semesta.
Narasi ini juga mengajarkan bahwa kosmos dianggap memiliki kesadaran simbolik, sehingga dapat berduka, merespons, bahkan “berempati” terhadap peristiwa kemanusiaan yang penuh kesedihan.
Sebagai sebuah tradisi lisan, kisah ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi bagian penting dari penafsiran masyarakat atas tanda-tanda alam dan wahyu keagamaan.
Meskipun tidak dapat diverifikasi melalui data astronomi modern, makna simbolis dari kisah tersebut tetap relevan, sebab ia mencerminkan cara manusia menafsirkan hubungan spiritual dengan alam.
Perpaduan antara fakta ilmiah dan keyakinan tradisional mengenai gerhana bulan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan spiritualitas tidak selalu saling meniadakan, melainkan bisa saling melengkapi.
Dengan demikian, kisah gerhana bulan yang dikaitkan dengan wafatnya putra Nabi Musa memperlihatkan upaya manusia memahami duka mendalam melalui simbol kosmik, sekaligus memperkuat ikatan antara iman dan fenomena alam.
Dalam ajaran Islam, fenomena gerhana bulan maupun matahari tidak dipahami sekadar peristiwa kosmik, melainkan disertai tuntunan ibadah, yaitu sholat sunnah khusuf dan kusuf.
Sholat sunnah gerhana ini dilaksanakan secara berjamaah dengan bacaan panjang, sebagai bentuk perenungan mendalam atas kebesaran Allah dan kefanaan kehidupan manusia.
Para ulama menekankan bahwa sholat gerhana bertujuan memperkuat keimanan, mengingatkan manusia akan kuasa Ilahi, sekaligus menjauhkan dari keyakinan tahayul atau mitos semata.
Dengan melaksanakan sholat sunnah saat gerhana, umat Islam diarahkan untuk mengubah rasa takjub dan takut menjadi sarana ibadah yang bernilai spiritual sekaligus edukatif.
Fenomena alam seperti gerhana diingatkan bukan karena kelahiran atau kematian seseorang, melainkan tanda kebesaran Tuhan, sehingga respons tepat adalah memperbanyak doa dan amal.
Integrasi antara pengetahuan ilmiah tentang gerhana dan praktik ibadah menunjukkan harmonisasi antara sains dan agama, memperkuat keyakinan bahwa fenomena kosmik membawa pesan spiritual mendalam.