Penulis: Dr. RKH. Kholisol Muhlis, S.Ag, M.Pd.I
Dosen F-Agama Islam UIM Pamekasan
PAMEKASAN | JATIM TRENDING.ID — Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak sekadar perayaan ritual, melainkan momen reflektif terhadap teladan kenabian. Dalam konteks Indonesia, yang menghadapi turbulensi politik menjelang pemilu dan kebijakan ekonomi yang memberatkan rakyat, Maulid menghadirkan energi muhasabah.
Kenaikan pajak yang kontroversial, disertai meningkatnya suhu politik, menimbulkan gejolak sosial yang menguji stabilitas bangsa. Di sinilah urgensi menjadikan Maulid sebagai sarana koreksi diri, khususnya bagi para pemimpin agar kembali meneladani Rasulullah SAW.
Pandangan Ulama Klasik: Maulid dan Keadilan Sosial
Tradisi ulama klasik menempatkan Maulid bukan sekadar perayaan formalitas, melainkan instrumen spiritual untuk menghidupkan kembali keteladanan Nabi. Imam al-Suyuthi menegaskan nilai sedekah, rasa syukur, dan cinta Nabi yang melahirkan manfaat sosial luas.
Ibn Taimiyyah, meskipun kritis pada sebagian praktik, tetap menekankan keadilan sebagai fondasi pemerintahan. Baginya, keberlangsungan negara hanya mungkin terjamin bila kebijakan diwarnai keadilan, sekalipun negara tersebut dipimpin oleh penguasa non-Muslim.
Dalam konteks kontemporer, kebijakan ekonomi seperti kenaikan pajak harus mencerminkan nilai keadilan. Transparansi anggaran, pemberantasan korupsi, serta perlindungan masyarakat lemah merupakan kewajiban moral sekaligus amanah konstitusional pemerintah.
Teladan Kepemimpinan Nabi: Shidq, Amanah, dan Tawazun
Prinsip As-Shidq, yakni kejujuran, menjadi modal utama Rasulullah membangun kepercayaan publik. Di tengah banjir informasi yang sarat manipulasi, kejujuran pemimpin menjadi kunci memulihkan legitimasi politik dan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan negara.
Al-Amanah, yakni tanggung jawab dalam mengelola amanah publik, menjadi pilar lain. Kebijakan pajak harus dipandang sebagai titipan rakyat yang penggunaannya menuntut akuntabilitas tinggi. Penyalahgunaan dana publik adalah pengkhianatan terhadap mandat kepemimpinan.
Prinsip At-Tawazun, keseimbangan antara kebutuhan negara dan kemampuan rakyat, menegaskan relevansi sirah Nabi. Kebijakan fiskal seyogianya tidak membebani rakyat kecil, melainkan lebih proporsional dikenakan pada golongan berkemampuan tinggi secara ekonomi.
Perspektif Pemikir Barat: Legitimasi melalui Keadilan
Pemikir Barat turut menekankan pentingnya legitimasi yang berpijak pada keadilan. John Locke menegaskan bahwa kekuasaan negara sah sejauh memperoleh persetujuan rakyat dan menghormati hak kepemilikan yang melekat pada setiap individu.
Machiavelli, meski sering diasosiasikan dengan kelicikan politik, tetap menekankan pentingnya penguasa menjaga kepercayaan rakyat. Baginya, pemimpin yang tidak menyakiti kepentingan ekonomi warganya cenderung lebih aman dan terhindar dari kebencian publik.
Kedua perspektif ini berkelindan dengan prinsip Islam. Kepemimpinan yang adil dan transparan melahirkan legitimasi, sementara kebijakan yang menyalahi kepercayaan rakyat justru mempercepat erosi stabilitas politik dan memperdalam ketidakpuasan sosial.
Maulid sebagai Momentum Transformasi Kepemimpinan
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW harus dimaknai melampaui dimensi ritual seremonial. Ia adalah cermin moral untuk membangun kepemimpinan Indonesia yang berlandaskan kejujuran, amanah, dan keseimbangan sosial-ekonomi demi terciptanya stabilitas bangsa.
Kebijakan kenaikan pajak, meski tidak terhindarkan dalam pembangunan negara, wajib dilaksanakan dengan transparansi, niat tulus, dan orientasi keadilan. Hanya melalui prinsip ini legitimasi politik dapat dipulihkan dan kepercayaan rakyat kembali tumbuh.
Spirit Maulid, sebagaimana diwariskan ulama klasik dan sejalan dengan hikmah pemikir Barat, menegaskan benang merah universal: kepemimpinan yang sah hanya lahir dari keadilan, akuntabilitas, dan kepercayaan. Inilah warisan etis Nabi bagi bangsa.