Scroll untuk membaca artikel
Nasional

Ta’dzim Santri Bukan Perbudakan: Meluruskan Narasi Keliru tentang Tradisi Pesantren

×

Ta’dzim Santri Bukan Perbudakan: Meluruskan Narasi Keliru tentang Tradisi Pesantren

Sebarkan artikel ini
Pria berjas hitam dan dasi hitam dengan latar merah bergaya formal untuk keperluan foto identitas atau profesional.
Dokumen: JatimTrending.id

Penulis: Dr. H. Kholisol Muhlis, M.Pd.I
Alumnus Program Pascasarjana Doktoral PAI UINSA Surabaya, Guru pengajar di SD Negeri Batuampar I dan Dosen di beberapa kampus swasta di Madura dan Surabaya.

PAMEKASAN | JATIMTRENDING.ID — Belakangan ini, sejumlah tayangan televisi, termasuk TV7, menampilkan pesantren secara sempit dan tendensius. Adegan santri mencium tangan kiai atau berjalan jongkok dianggap sebagai “perbudakan berkedok pesantren,” sebuah tuduhan yang menyesatkan.

Scroll Untuk Membaca Artikel
Scroll Untuk Membaca Artikel

Pandangan seperti ini menunjukkan keterputusan pemahaman terhadap hakikat spiritualitas Islam. Tradisi penghormatan di pesantren bukanlah bentuk penindasan, melainkan ekspresi ta’dzim dan tawadhu’ yang berakar pada nilai keilmuan dan moralitas Islam.

Bagi seorang santri, ketaatan terhadap kiai bukan sekadar sikap tunduk, melainkan bentuk pengakuan terhadap kemuliaan ilmu. Dalam Islam, menghormati ulama berarti menghormati ilmu, dan menghormati ilmu berarti menghormati Allah SWT.

Landasan Ilmiah dan Keagamaan Penghormatan Guru

Al-Qur’an memerintahkan agar umat Islam senantiasa bersama orang-orang yang benar. Firman Allah dalam QS. At-Taubah ayat 119 menjadi dasar bagi santri untuk berpegang pada bimbingan ulama pewaris para nabi.

Rasulullah SAW juga menegaskan: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak orang berilmu.” (HR. Ahmad). Hadis ini meneguhkan nilai penghormatan dalam proses belajar.

Baca Juga :  Puskesmas Omben Wakili Sampang di Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik KIPP 2025

Dalam konteks pesantren, hubungan santri dan kiai dibangun bukan atas dasar kekuasaan, tetapi atas asas ilmu dan keberkahan. Ketaatan santri merupakan bagian dari adab, bukan bentuk ketundukan buta.

Teladan Para Ulama: Adab di Atas Ilmu

Para ulama salaf telah mencontohkan bahwa adab mendahului ilmu. Imam Malik bin Anas dikenal sangat menghormati gurunya, Imam Nafi’, bahkan enggan membantahnya karena menganggapnya sebagai sumber ilmu Rasulullah SAW.

Imam Syafi’i juga menegaskan pentingnya kebersihan hati dalam menuntut ilmu. Dalam Diwan-nya beliau menulis, “Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.” Sebuah pesan tentang keterkaitan moral, ilmu, dan keberkahan.

Sikap tawadhu’ seperti itu menjadi dasar pembentukan karakter santri di pesantren. Hormat kepada guru bukan sekadar etika sosial, tetapi jalan spiritual untuk memperoleh barokah dan kemantapan ilmu.

Pemikiran Ulama Nusantara: Kyai Sebagai Sumber Barokah

Ulama Nusantara memahami peran kiai bukan hanya sebagai pendidik, tetapi juga wasilah (perantara) turunnya keberkahan ilmu. Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menulis bahwa kemuliaan murid terletak pada pengagungannya terhadap guru.

Baca Juga :  KH Helmy Faishal Zaini Hadiri Deklarasi Jatma Aswaja di Pekalongan: Gerakan Mahasiswa NU untuk Dakwah Moderat dan NKRI

KH. Ahmad Dahlan menegaskan keseimbangan antara ilmu dan adab: “Ilmu tanpa adab seperti pohon tanpa buah, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh.” Pandangan ini meneguhkan sinergi antara intelektualitas dan moralitas.

Sementara Buya Hamka menulis dalam Tasawuf Modern: “Menghormati guru bukan berarti menyembahnya, tetapi menghormati ilmu yang ada padanya.” Inilah hakikat spiritual yang sering disalahpahami oleh pandangan sekuler modern.

Menjawab Tuduhan: Ta’dzim Bukan Perbudakan

Adegan santri mencium tangan kiai memiliki dasar dalam sunnah Rasulullah SAW. Para sahabat pernah mencium tangan beliau sebagai bentuk penghormatan, dan Rasul tidak melarangnya. Ini simbol ketulusan, bukan penindasan.

Berjalan jongkok di hadapan guru pun memiliki makna simbolis: merendahkan diri di hadapan ilmu dan menghindari kesombongan. Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin agar murid menundukkan pandangan dan bersikap tenang di majelis ilmu.

Tuduhan perbudakan muncul dari kesalahpahaman terhadap simbol-simbol spiritual. Dalam tradisi Islam, setiap bentuk penghormatan memiliki makna adab, bukan penyembahan atau pengkultusan individu.

Pesantren dan Perlawanan terhadap Pandangan Sekuler

Pola pikir sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan sosial sering gagal memahami dimensi ruhani dalam pendidikan Islam. Bagi pesantren, relasi guru dan murid bukan sekadar hubungan formal, melainkan hubungan spiritual yang dilandasi cinta dan barokah.

Baca Juga :  Catat! Jadwal Pencairan Gaji ke-13 PNS 2025 Sudah Diumumkan Sri Mulyani, Ini Besaran dan Rinciannya

Di tengah arus modernitas yang menipiskan adab, pesantren justru tampil sebagai benteng peradaban moral. Sebagaimana pesan KH. Abdullah Syafi’ie: “Barokah itu nyata, ilmu dengan hormat akan berbeda dengan ilmu yang sombong.”

Pesantren menjadi ruang sakral bagi lahirnya generasi berilmu sekaligus berakhlak. Melalui ta’dzim dan tawadhu’, para santri belajar bahwa kesuksesan sejati bukan pada kepintaran, melainkan pada keberkahan ilmu.

Penutup: Melihat Pesantren dengan Kearifan

Tradisi pesantren tidak bisa dibaca dengan kacamata sekuler. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi sistem nilai yang menjaga keseimbangan antara ilmu, adab, dan spiritualitas.

Tuduhan “perbudakan berkedok pesantren” sesungguhnya mencerminkan ketidaktahuan terhadap akar peradaban Islam. Pesantren telah membuktikan diri sebagai penjaga moral dan penumbuh karakter bangsa yang beradab.

Marilah kita memahami pesantren dengan hati yang jernih, bukan dengan prasangka. Karena di balik setiap sujud penghormatan, tersimpan nilai kerendahan hati yang menghidupkan ruh pendidikan Islam. Wallahu a’lam bish-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *