Penulis: Dr. RKH. Kholisol Muhlis, S.Ag, M.Pd.I
Dosen F-Agama Islam UIM Pamekasan
RELIGI | JATIMTRENDING.ID — Dalam tradisi Islam Nusantara, khususnya di Jawa, Rabu terakhir bulan Shafar dikenal sebagai “Rabu Wekasan” atau “Rabu Pungkasan.”¹ Hari tersebut sering dikaitkan dengan turunnya bala’ (bencana) dan musibah. Karena itu, sebagian umat Islam melaksanakan ritual ibadah seperti shalat sunnah, membaca doa khusus, dan bersedekah sebagai ikhtiar tolak bala.
Tradisi ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian pihak menerimanya sebagai bagian dari khazanah keagamaan, sementara yang lain menolaknya karena dianggap tidak memiliki landasan dalil yang kuat. Artikel ini mencoba mengulas secara kritis tradisi Rabu Wekasan dengan merujuk kepada Al-Qur’an, Hadits, dan pendapat para ulama klasik maupun kontemporer, termasuk ulama Indonesia.
1. Asal Usul Keyakinan
Keyakinan tentang turunnya bala pada Rabu terakhir bulan Shafar tidak bersumber dari Al-Qur’an atau hadits yang shahih. Sebaliknya, keyakinan ini lebih banyak berakar dari ijtihad dan ta’wil sebagian ulama terhadap riwayat yang berstatus sangat lemah (ḍa‘īf jiddan) bahkan palsu (mawḍū‘).
Salah satu riwayat yang kerap dijadikan pijakan berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ
“Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW bersabda: ‘Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari sial yang terus-menerus’.”
Namun, para ahli hadits menegaskan bahwa riwayat ini batil dan tidak memiliki sumber yang valid. Imam As-Suyuthi (w. 911 H) bahkan secara tegas menyatakan kelemahannya.
2. Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah tentang Tolak Bala
Walau tidak ada dalil spesifik mengenai Rabu Wekasan, Islam menganjurkan umatnya untuk senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan.
a. Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Falaq [113]: 1–5:
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluk yang Dia ciptakan, dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dari kejahatan tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.”
b. Dalil Hadits Shahih
Rasulullah SAW bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ
“Bersemangatlah pada apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu berputus asa.” (HR. Muslim)
Selain itu, beliau mengajarkan doa perlindungan:
بِسْمِ اللهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dengan nama Allah yang dengan nama-Nya, tidak ada sesuatu pun yang membahayakan di bumi dan di langit. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)⁵
3. Pandangan Para Ulama
a. Ulama yang Menolak
Mayoritas ulama ahli hadits dan kalangan salafi menolak tradisi ini. Alasannya, riwayat tentang Rabu Wekasan palsu, pengkhususan ibadah tanpa dalil dianggap bid’ah, serta berpotensi mengarah pada khurafat.
Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) menegaskan dalam Al-Fatawa al-Haditsiyyah bahwa tidak ada dasar sama sekali untuk shalat khusus pada Rabu terakhir bulan Shafar.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H) bahkan menyebut amalan ini sebagai bid’ah dan khurafat, serta menegaskan semua hadits terkait sebagai palsu.
b. Ulama yang Membolehkan dengan Batasan
Sebagian ulama tidak mengaitkan keutamaan dengan harinya, namun memperbolehkan doa dan ibadah sebagai bentuk ihtiyath (kehati-hatian). Imam As-Suyuthi, meski menyatakan hadits tentang Rabu Wekasan batil, tidak mengingkari orang yang melakukannya dengan niat tolak bala secara umum.
Pandangan ini menempatkan Rabu Wekasan sebagai bentuk bid‘ah ghairu madzmūmah (bid’ah yang tidak tercela) selama tidak disertai keyakinan takhayul.
4. Perspektif Ulama Indonesia
Ulama Nusantara memberikan respons beragam sesuai dengan pendekatan keilmuan dan konteks budaya.
KH. Sirajuddin Abbas (w. 1980) dalam 40 Masalah Agama menyatakan bahwa hadits tentang turunnya bala pada Rabu terakhir Shafar tidak shahih. Beliau menilai keyakinan itu bathil dan bisa menjurus pada syirik.
Habib Lutfi bin Yahya memandang tradisi ini lebih sebagai warisan budaya dan bagian dari sanad keilmuan. Menurutnya, shalat sunnah dan doa-doa ma’tsurat tetap boleh dilakukan dengan niat ihtiyath, bukan meyakini adanya bala khusus pada hari itu.
Sementara itu, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub menegaskan bahwa tradisi Rabu Wekasan hanyalah produk budaya, bukan bagian dari syariat. Beliau menilai berdoa itu baik, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari tertentu yang tidak ada ajarannya.¹⁰
Kesimpulan :
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan:
1. Keyakinan bahwa Rabu terakhir bulan Shafar adalah hari turunnya bala tidak memiliki dasar yang sahih.
2. Mengkhususkan ibadah pada hari tersebut merupakan bid’ah karena berdasar riwayat yang lemah.
3. Doa memohon perlindungan dari Allah adalah ajaran Islam yang bersifat universal, berlaku kapan saja, tanpa dikaitkan dengan hari tertentu.
4. Sikap paling selamat adalah tidak mengkhususkan amalan pada Rabu Wekasan, melainkan memperbanyak doa dan ibadah setiap waktu dengan dalil yang jelas.
اَللّهُمَّ أَصْلِحْ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، اللّهُمَّ فَرِّجْ عَنْهُمْ، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
“Ya Allah, perbaikilah umat Muhammad. Ya Allah, lapangkanlah kesulitan mereka, wahai Rabb semesta alam.”